文档库 最新最全的文档下载
当前位置:文档库 › Hadi Soesastro

Hadi Soesastro

Hadi Soesastro
Hadi Soesastro

Hadi Soesastro

March 2004

Economics Working Paper Series

http://www.csis.or.id/papers/wpe082

Kebijakan Persaingan, Daya Saing, Liberalisasi, Globalisasi, Regionalisasi dan Semua Itu

Hadi Soesastro

March 2004

Economics Working Paper Series

http://www.csis.or.id/papers/wpe082

ABSTRACT

Tulisan ini menelusuri perkembangan proses liberalisasi Indonesia serta kontribusinya dalam meningkatkan daya saing industri-industri dalam negeri. Liberalisasi tersebut dilakukan dalam beberapa front, baik secara unilateral, multilateral dalam WTO, maupun regional melalui APEC maupun AFTA. Pasca-krisis di Asia pada 1997, liberalisasi regional terhambat kecenderungan dalam negeri beberapa negara di Asia Tenggara untuk kembali menutup diri. Namun, Bali Concord II pada 2003 lalu kembali menegaskan komitmen meneruskan integrasi pasar di Asia, yang serta merta akan mendorong kelanjutan proses liberalisasi di Indonesia. Namun proses ini akan sangat tergantung dari perilaku dan upaya sejumlah lembaga-lembaga ekonomi penting di Indonesia. Keywords: Indonesia; Association of Southeast Asian Nations (ASEAN); competition policy; trade liberalization; regional integration; Bali Concord 2; globalisation.

Hadi Soesastro

hadi_s@https://www.wendangku.net/doc/608876743.html,.id

Department of

Economics

CSIS Jakarta

Kebijakan Persaingan, Daya Saing, Liberalisasi, Globalisasi, Regionalisasi dan

Semua Itu

Hadi Soesastro

Pengantar

Kebijakan Persaingan (competition policy) kini sudah menjadi agenda internasional. Terdapat desakan kuat agar aturan main yang diterapkan dalam berbagai ekonomi menjamin terjadinya persaingan yang sehat, yaitu terjadinya level playing field, di mana aturan yang sama dikenakan pada semua pemain. Desakan serupa ini timbul karena proses globalisasi. Bahkan dengan semakin maraknya international mergers and acquisition (M&A) lahir usulan untuk merumuskan dan menerapkan suatu international competition policy, sebab dikhawatirkan bahwa kebijakan nasional di bidang persaingan tidak dapat mengatasi persoalan oligopoli di pasar internasional yang diakibatkan oleh proses M&A itu.

Merumuskan dan menerapkan kebijakan persaingan bukan sesuatu yang mudah. Indonesia merupakan salah satu dari sejumlah kecil negara berkembang yang menerapkan kebijakan persaingan. Penerapan ini merupakan bagian dari program reformasi ekonomi yang digariskan dalam program pemulihan ekonomi yang didukung oleh IMF.

Perdebatan mengenai perlu tidaknya Indonesia mempunyai kebijakan persaingan sudah lewat. Barangkali persoalannya terletak pada penyempurnaannya dan kemampuan untuk melaksanakannya (enforcement). Namun yang menarik untuk diketahui adalah bahwa ketika persoalan kebijakan persaingan ini mulai dibicarakan di Indonesia ada pendapat bahwa barangkali jalan yang lebih mudah untuk menciptakan iklim persaingan di dalam negeri adalah dengan membuka (meliberalisasi) pasar. Sebab sebagian terbesar masalah persaingan terjadi karena sejumlah industri (atau perusahaan) memperoleh perlakuan khusus, dan umumnya perlakuan khusus ini berbentuk proteksi terhadap persaingan impor atau membatasi entry ke dalam industri yang bersangkutan. Maka langkah pertama yang perlu diambil

1

oleh Indonesia adalah melanjutkan liberalisasi perdagangan dan investasi. Bila upaya ini dilakukan secara konsisten maka penerapan kebijakan persaingan bisa dilaksanakan di kemudian hari.

Selain itu, kebijakan liberalisasi perdagangan (dan investasi) juga dilihat sebagai cara untuk meningkatkan daya saing ekonomi. Peningkatan daya saing suatu ekonomi bisa dilakukan melalui berbagai cara. Ada pemikiran yang mengatakan bahwa sebenarnya peningkatan daya saing terutama merupakan tantangan bagi masing-masing perusahaan dan upaya yang dilakukan haruslah pada tingkat perusahaan. Kerjasama internasional, misalnya dengan membentuk suatu aliansi strategis (strategic alliance), merupakan salah satu cara yang kini banyak dilakukan, terutama antara perusahaan-perusahaan dari negara-negara maju. Tetapi berbagai bentuk kerjasama internasional juga dilakukan pada tingkat negara (ekonomi) untuk meningkatkan daya saing, artinya meningkatkan kemampuan penetrasi pasar. Pembentukan kawasan perdagangan bebas (free trade area -- FTA) seringkali dilihat sebagai upaya untuk saling meningkatkan akses pasar di antara pesertanya. Kini terdapat kecenderungan pembentukan kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral, tetapi kesepakatan serupa ini sebenarnya tidak meningkatkan daya saing melainkan mendapatkan perlakuan khusus dalam akses pasar. Perlakuan khusus ini jelas-jelas merugikan negara lain karena menimbulkan apa yang disebut sebagai trade diversion. Perlu kiranya dicatat pula bahwa dalam banyak kesepakatan (FTA) bilateral atau regional terdapat klausul mengenai persaingan dan kebijakan persaingan.

Berbagai kajian menunjukkan bahwa bagi negara berkembang, kunci utama untuk melakukan penetrasi pasar adalah daya saing harga. Hal ini merupakan kenyataan yang sulit dibantah, dan mungkin telah menjadi suatu “kebenaran”. Maka upaya nasional maupun internasional untuk meningkatkan daya saing, sesedikitnya pada tahap permulaan hingga kehadiran di suatu pasar menjadi cukup mapan, adalah dengan mempertajam daya saing harga produk. Negara-negara ASEAN bersepakat untuk membentuk kawasan perdagangan bebas, AFTA (ASEAN Free Trade Area), dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing kawasan secara keseluruhan di pasar dunia. Langkah ini merupakan jawaban kawasan terhadap tantangan globalisasi.

2

Indonesia sangat terlibat dalam upaya regional ini dan berbagai prakarsa regionalisasi lain, dan barangkali keterlibatan ini dapat membantunya mempertahankan momentum liberalisasi yang seringkali menghadapi tentangan besar di dalam negeri, baik karena mengganggu kepentingan kelompok usaha tertentu maupun karena salah kaprah dalam pemikiran.

Liberalisasi di Indonesia

Di bawah rejim kolonial, ekonomi daerah Indonesia dikuasai oleh perusahaan- perusahaan besar Belanda. Kegiatan ekonomi yang besar terdapat di sektor perkebunan yang dikelola oleh sejumlah onderneming. Bidang perdagangan dilaksanakan oleh lima perusahaan besar. Kegiatan-kegiatan itu semata-mata ditujukan untuk ekspor. Keuntungan dari kegiatan ini merupakan akumulasi modal bagi Kerajaan Belanda, sementara rakyat daerah Indonesia terus menerus diperas tenaganya. Sistim ekonomi kolonial yang penuh penghisapan ini terlanjur dilihat sebagai sistim ekonomi liberal. Maka liberalisme menjadi kata yang kotor dalam perbendaharaan Indonesia. Apa-apa yang berbau liberal secara naluriah segera hendak dicampakkan.

Sindrom kolonial ini barangkali memang begitu kuat sehingga selama 50-an tahun setelah merdeka liberalisasi ekonomi hanya bisa terlaksana secara setengah hati. Perumusan kebijakan di Indonesia, dan di banyak negara berkembang lain, sampai hari ini masih terus dihadapkan pada pertanyaan yang tidak mendapatkan jawaban yang tegas: “ Apakah ada alternatif terhadap sistim ekonomi liberal?” Berbagai jawaban bisa dicatat. Misalnya: “Barangkali tidak ada, tetapi sistim itu tidak tepat untuk dipakai.” Atau: “Tentu harus ada alternatifnya, tetapi masih harus ditemukan.” Maka upaya menangani persoalan ekonomi menjadi penuh ambivalensi, sarat ilusi dan umumnya gagal menciptakan kelembagaan ekonomi. Yang diartikan dengan kelembagaan ekonomi adalah norma, prinsip dan aturan serta lembaga-lembaga yang menetapkan rambu-rambu dan menjaga agar rambu-rambu itu tidak dilanggar. Kegagalan membangun kelembagaan ekonomi menyebabkan ekonomi dikelola oleh kemauan orang, yang menggunakan wewenang karena mempunyai kekuatan politik, karena memegang senjata, atau karena

3

menduduki jabatan birokrasi yang strategis. Maka pengelolaan ekonomi terutama ditujukan untuk kepentingan orang bersangkutan atau kelompoknya dan bukan untuk kepentingan masyarakat. Alhasil, justru suatu sistim penghisapan yang terbentuk, dan lebih buruk lagi sebab penghisapan itu dilakukan oleh sesama bangsa sendiri.

Bila ambivalensi dan ilusi itu dapat dihilangkan, dan suatu sistim ekonomi liberal diadopsi sepenuh hati, akan segera tampak rambu-rambu apa yang perlu ditetapkan dan lembaga-lembaga ekonomi apa harus dibangun untuk menjadi agar rambu-rambu yang ada tidak dilanggar sambil terus-menerus memperbarui rambu-rambu itu. Sebab kehidupan ekonomi penuh dengan dinamika, baik karena teknologi dan inovasi, mau pun karena proses integrasi ekonomi secara regional dan global. Oleh sebab itu, kebijakan persaingan barangkali memang merupakan bagian integral dari proses liberalisasi dan globalisasi. Selain itu, suatu sistim pengaman sosial bisa diciptakan untuk mengatasi dampak negatif dari perubahan ekonomi dan siklus bisnis.

Liberalisme ekonomi berarti jaminan adanya kebebasan bagi semua insan ekonomi untuk menentukan sendiri apa yang akan dikonsumsi, apa yang akan diproduksi, bagaimana memproduksinya, dan untuk memperdagangkannya. Sistim ini tidak membenarkan bahwa seorang petani diharuskan menanam suatu komoditi pertanian tertentu dan diharuskan pula untuk menjualnya kepada orang atau lembaga tertentu. Liberalisme bukan tanpa aturan. Bahkan aturan dan pengaturan merupakan keharusan yang disepakati bersama. Tanpa aturan dan pengaturan kebebasan seseorang bisa mengurangi kebebasan orang lain, dan ini bertentangan dengan jiwa dari liberalisme ekonomi.

Seperti halnya dengan kehamilan, liberalisme ekonomi tidak bisa setengah-setengah. Liberalisasi ekonomi membebaskan insan ekonomi dari cengkeraman yang berkuasa. Liberalisasi ekonomi juga tidak bisa dilaksanakan setengah hati. Bagi ekonomi Indonesia, yang berangkat dari keadaan yang sangat etatis di waktu lalu, proses liberalisasi tidak bisa dirampungkan dalam semalam. Barangkali memang dibutuhkan suatu pentahapan (sequencing). Analisa kebijakan ekonomi menganjurkan suatu urut-urutan liberalisasi atas pertimbangan ekonomi. Pertimbangan ekonomi politik menyatakan bahwa urut-urutan itu mensyaratkan pula suatu political

4

conditioning agar liberalisasi itu mungkin dilakukan (feasible). Jadi, desirability dan feasibility harus bergandengan tangan. Hanya dengan modal ini liberalisasi bisa dilaksanakan dengan sepenuh hati.

Liberalisasi sepenuh hati mungkin hanya merupakan angan-angan. Analisa Andrew Rosser (2002) menyangsikan bahwa persyaratan politik dan sosial bagi liberalisasi sudah terpenuhi di Indonesia. Liberalisasi mungkin memang akan terjadi terutama karena tekanan-tekanan keadaan, terlepas dari kenyataan apakah masyarakat telah siap menerimanya atau tidak. Itu lah mungkin inti cerita liberalisasi ekonomi di Indonesia. Deregulasi ekonomi yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1980-an dipaksanakan oleh keadaan. Berbagai koreksi kebijakan sebelumnya telah diambil untuk mengatasi kemerosotan dalam daya saing non-migas sebagai akibat dari Dutch disease karena lonjakan harga minyak. Mata uang didevaluasi secara tajam pada tahun 1978, 1983 dan 1986. Tetapi dengan tiga devaluasi itu terlihat bahwa upaya tersebut jauh dari memadai. Yang diperlukan adalah suatu perubahan struktural, dan untuk itu diperlukan liberalisasi. Karena kata liberalisasi dianggap kotor, maka digunakan deregulasi yang saat itu lebih bisa diterima (Sadli, 2002). Tantangan jaman, tantangan dari luar, khususnya globalisasi merupakan dorongan kuat bagi Indonesia untuk terus melaksanakan liberalisasi.

Globalisasi

Globalisasi sendiri adalah sesuatu yang menakutkan. Ada kemungkinan, “globaphobia” itu terutama disebabkan oleh karena globalisasi tel ah dijadikan kambing hitam. Pejabat pemerintah dan kalangan politisi menggunakan globalisasi sebagai alasan untuk menutupi ketidakmampuan mereka dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Hal ini tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara maju.

Kini dirasakan semakin sulit bagi seorang pejabat pemerintah atau politisi untuk menjadi kampiun globalisasi. Akan lebih populer baginya untuk meneriakkan retorika anti globalisasi. Sulit dibayangkan bahwa seorang Presiden Republik Indonesia akan mau mengatakan di tahun 2000, “mau tidak mau, siap tidak siap, kita

5

harus mengambil bagian dalam globalisasi”, seperti yang dilontarkan Presiden Soeharto pada tahun 1994, hanya enam tahun lalu.

Dalam kurun waktu hanya enam tahun ini banyak yang telah terjadi, di dunia, di kawasan Asia, dan di Indonesia sendiri. Pada tingkat global dan regional proses integrasi telah semakin laju. Yang melintasi batas-batas negara bukan hanya arus barang dan jasa, orang, uang dan modal, tetapi juga teknologi, informasi, dan bahkan juga gagasan. Dunia telah menjadi satu. Kesemua jenis arus itu sulit dibendung masuk atau keluar. Kemajuan teknologi bisa mengatasi hambatan-hambatan dalam perdagangan. Dan memang, hambatan-hambatan itu sendiri sudah semakin dikurangi. Semua ekonomi membuka diri, ada yang cepat dan ada yang lebih lambat melakukannya.

Kemajuan dalam e-commerce tidak dapat dibayangkan beberapa tahun lalu. Semula ada upaya untuk menghambat. Ada persoalan bagaimana mengenakan pajak pada jenis transaksi ini. Pertemuan pada menteri perdagangan APEC pada permulaan Juni 2000 ini memutuskan untuk tidak (mencoba) mengenakan pajak pada perdagangan lewat internet ini. Entah karena merasa sulit untuk menerapkannya atau karena melihat keuntungan dari perkembangan e-commerce ini.

Dampak positif dari globalisasi umumnya tidak diberitakan. Sementara itu dampak negatifnya biasanya menjadi berita besar. Para demonstran di Seattle untuk menantang pertemuan WTO bertujuan untuk mewartakan dampak negatif yang besar dari globalisasi terhadap lingkungan, kura-kura, hak azasi manusia, dan pekerja anak.

Dalam globalisasi ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Dengan perkataan lain, ada yang menang dan ada yang kalah. Yang dirugikan dan kalah biasanya berteriak keras. Ada kalanya kekalahan ini dirasakan oleh seluruh industri yang berada di suatu daerah, misalnya industri tenun di Majalengka. Tentu saja dampak ini sangat tampak. Pihak yang diuntungkan dan menang biasanya sangat tersebar, tidak terkonsentrasi, dan seringkali tidak tahu bahwa keuntungan itu diperoleh dari globalisasi.

6

Bagi dunia dan kawasan Asia, on balance, barangkali keuntungan yang diperoleh dari globalisasi lebih besar daripada kerugian. Bagi kawasan Afrika keadaannya adalah yang sebaliknya. Di Asia pun masih ada kantong-kantong kemiskinan, tetapi secara rata-rata tingkat kesejahteraan masyarakat di Asia telah mengalami peningkatan yang pesat.

Bila demikian, pemanfaatan globalisasi harus diikuti oleh upaya untuk mengatasi dampak negatif dari globalisasi secara sadar dan terarah. Dalam kaitan ini orang berbicara mengenai sustainable globalization, yaitu globalisasi yang berkelanjutan. Artinya, globalisasi dapat terus berlanjut karena didukung oleh semua. Antara lain, hal ini dapat dilakukan dengan merentangkan suatu jaring pengaman. Tetapi di samping tindakan yang bersifat “defensif” itu agenda utama bagi suatu masyarakat untuk mengambil bagian dalam globalisasi adalah upaya untuk terus menerus mengembangkan sumber daya manusianya (SDM). Dalam hubungan ini orang berbicara tentang globalization from below.

Tetapi yang paling pokok adalah perlunya re-orientasi dalam wawasan. Pembangunan nasional atau pembangunan bangsa bukan sesuatu yang bersifat agregatif tetapi pembangunan bagi manusianya. Keamanan (security) bukan lagi hanya masalah negara (state security) tetapi keamanan bagi manusianya (human security).

Globalisasi tidak lah harus dirasakan sebagai sesuatu yang menakutkan. Kita tidak bisa terus menerus hidup dalam ketakutan sebagai globalisasi akan terus berlanjut. Globalisasi merupakan tantangan, yaitu tantangan untuk merubah orientasi. Ini bukan tantangan mudah, tetapi ia seharusnya berada dalam kendali manusia. Kini telah berkembang ekonomi baru (the new economy) tetapi politik yang dilaksanakan tetap saja masih kuno. Itu lah yang harus berubah. Salah satu pencerminan dan manifestasi dari perubahan ini akan terlihat dalam perbaikan penadbiran (governance) yang kini masih sangat buruk.

Globalisasi bukan suatu gejala baru. Dunia telah mengalami berbagai gelombang globalisasi. Di lihat dari segi ini, dunia telah menunjukkan kemampuan untuk mengatasinya. Biarpun demikian, proses globalisasi memang tidak dapat

7

dianggap enteng. Bahkan di negara-negara maju dan masyarakat yang sudah maju kini dicari jalan untuk dapat mengatasi globalisasi baru (new globalism) yang ditandai oleh meningkatnya peran dan pengaruh dari pasar finansial internasional.

Yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa di Asia Tenggara yang menjadi ujung tombak globalisasi bukanlah dunia usahanya. Tetapi, pemrakarsa dan promotor globalisasi ekonomi adalah pemerintahnya. Adalah pemerintah di negara-negara ini yang menerapkan kebijakan untuk mengintegrasikan ekonominya ke dalam ekonomu dunia, semula melalui kebijakan pembangunan yang berorientasi ekspor yang didukung oleh kebijakan untuk menarik masuk PMA. Secara bertahap mereka juga membuka pasar dalam negerinya. Ini merupakan cerita lama yang tidak perlu dielaborasi di sini. Yang seringkali dilupakan adalah bahwa kebijakan globalisasi ini dijalankan seiring dengan kebijakan untuk menggalang kerjasama ekonomi regional. Kebijaksanaan ini didasarkan pada kejakinan bahwa setiap negara akan mendapatkan hasil yang lebih baik apabila melakukan integrasi ekonomi ini secara bersama-sama daripada melakukannya secara sendiri-sendiri. Itulah sebabnya regionalisme ekonomi di Asia Tenggara berorientasi ke luar. Oleh karena pola perdagangan negara-negara Asia Tenggara lebih bersifat ekstra-regional dan hanya seperlimanya merupakan perdagangan intra-regional, maka tidak mengherankan mengapa mereka menganut konsep “regionalisme terbuka” atau open regionalism.

Negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, telah melaksanakan globalisasi ekonomi dengan melakukan liberalisasi ekonomi, masing-masing menurut kecepatan yang berbeda dengan memperhitungkan komitmen mereka dalam WTO, APEC atau AFTA. Tentu saja implementasi dari kebijakan ini tidaklah selalu berjalan mulus. Di setiap negara selalu terdapat kelompok kepentingan yang menentang liberalisasi. Di banyak negara kelompok kepentingan yang kuat biasanya adalah mereka yang mempunyai hubungan dekat dengan pemerintah. Ketika crony capitalism dan KKN mulai menyelinap masuk, maka tentangan terhadap liberalisasi itu semakin kuat dan semakin sulit untuk dikalahkan. Suatu negara disebut sebagai effective state bila dapat menahan tekanan-tekanan dari kelompok kepentingan itu. Kerjasama regional menjadi penting artinya bila dapat membantu membendung tekanan-tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan tersebut. Sementara itu,

8

kelompok yang lemah dan termarginalisasi dalam masyarakat umumnya tidak bisa meneriakkan kepentingan mereka dan tidak mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Sebagai pemrakarsa dan promotor kebijakan globalisasi, pemerintah di kebanyakan negara Asia Tenggara memberikan perhatian pada penyesuaian tahap pertama saja. Penyesuaian tahap pertama ini menyangkut proses dan upaya membuka ekonomi melalui suatu pentahapan (sequencing) dari liberalisasi dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing internasionalnya. Penyesuaian ini melibatkan kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan daya tarik ekonomi yang bersangkutan sebagai tempat produksi bagi pasar global.

Hingga terjadi krisis finansial di kawasan kita ini umumnya dianggap bahwa negara-negara Asia Tenggara cukup berhasil dalam melaksanakan penyesuaian tahap pertama ini. Tetapi mereka belum dianggap berhasil melakukan penyesuaian tahap kedua, yaitu untuk mengatasi dampak perubahan ekonomi, sosial dan politik dari pembukaan ekonomi, yang juga berpengaruh atas persepsi tentang dan keadaan keamanan pada berbagai tingkatan: individual, kelompok masyarakat, bangsa, dan kawasan yang lebih luas. Namun demikian, kelambatan dan kekurangan dalam melakukan penyesuaian tahap kedua itu kurang diperhatikan berhubung ekonomi mengalami pertumbuhan yang tinggi. Krisis finansial ini telah berguna untuk membuka mata kita mengenai kelemahan dalam kebijakan pembangunan.

Rangkuman atas pengamatan di atas dapat dijadikan dasar bagi perumusan suatu kebijakan globalisasi yang berkelanjutan. Krisis finansial telah menunjukkan luasnya dampak globalisasi walau pun globalisasi bukan lah penyebab satu-satunya dari krisis tersebut. Kasus Indonesia menunjukkan bahwa dampak krisis yang begitu luas dan dalam disebabkan terutama oleh lemahnya penadbiran. Bahkan dapat dikatakan bahwa lemahnya penadbiran yang telah memungkinkan meluasnya praktek KKN telah menjadi sumber kerawanan ekonomi terhadap gejolak dari luar. Perdana Menteri Malaysia, Mahathir, berusaha mengurangi dampak dari gejolak pasar uang internasional dan menutup diri dari para spekulan uang dengan menerapkan suatu sistim pengawasan devisa dan aliran modal. Untuk sementara, Malaysia dapat

9

menghindarkan gejolak dalam mata uangnya. Hingga beberapa tahun lalu Rupiah masih mengalami gejolak setiap kali terjadi suatu peristiwa keributan atau karena ucapan para pejabat pemerintah. Atas dasar itu selalu ada keinginan untuk juga menerapkan suatu sistim pengawasan. Dengan sistim yang terbuka seperti sekarang, mata uang Rupiah tidak dapat diinsulasi dari pengaruh luar yang bereaksi terhadap tindakan dan kebijakan pemerintah. Sistim yang terbuka sebenarnya menjaga disiplin dalam pengelolaan ekonomi. Tetapi globalisasi memang cenderung memperberat hukuman terhadap suatu kekeliruan. Namun, pasar tidak bersifat indiskriminatif terhadap suatu kekeliruan. Kekeliruan bisa disebabkan oleh kesalahan pernilaian, tetapi kekeliruan bisa disebabkan oleh karena penadbiran yang lemah. Kekeliruan tipe pertama bersifat insidentil sedangkan kekeliruan tipe kedua bersifat sistemik. Pasar bisa menerima kekeliruan yang bersifat insidentil tetapi pasar akan menghajar kekeliruan yang bersifat sistemik.

Persoalan globalisasi adalah persoalan yang rumit. Tetapi justru oleh karena itu globalisasi harus ditangani. Kita tidak dapat mengambil sikap menentang globalisasi kecuali bila kita mempunyai kekuatan, atau dapat mengembangkan kekuatan, untuk menghentikannya. Ada kemungkinan proses globalisasi dapat diperlambat atau bahkan dihentikan bila sejumlah negara di dunia sepakat untuk melakukannya, yaitu bila dapat dicapai persetujuan untuk membuka ekonomi mereka secara terbatas saja. Pembukaan terbatas ini tidak hanya berlaku untuk arus barang dan jasa serta modal dan keuangan tetapi juga arus manusia, teknologi dan informasi serta gagasan baru.

Kesepakatan internasional untuk membuka ekonomi secara terbatas tampaknya sulit akan dicapai. Ukuran batas-batas tidak dapat dirumuskan dengan jelas dan perundingan untuk itu akan memakan waktu lama. Ada negara-negara yang melihat dan merasakan keuntungan besar dari globalisasi, tetapi bagi sejumlah negara lain globalisasi dinilai sebagai ancaman. Maka masing-masing negara harus menentukan sendiri apa yang akan dilakukan, yaitu bagaimana dan berapa cepat membuka ekonomi secara bertahap dan terencana. Inilah esensi dari penanganan globalisasi yang perlu dirumuskan dalam suatu “strategi globalisasi”. Jika suatu

10

negara tidak mampu merumuskan sendiri strategi globalisasinya maka nasib negara tersebut akan ditentukan oleh pihak lain.

Kerjasama regional di antara negara-negara yang berada dalam kondisi yang kurang lebih sama diharapkan dapat membantu merumuskan dan memperkuat strategi globalisasi yang dilaksanakan secara bersama oleh negara-negara tersebut. Negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa melakukan hal ini. Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya juga bersepakat melakukan hal yang serupa. Keputusan untuk membentuk suatu AFTA pada tahun 1992 adalah upaya negara-negara tersebut untuk secara bersama menangani globalisasi. Karena itu kerjasama regional dapat dilihat sebagai bagian dari strategi globalisasi.

Indonesia tidak dapat menangani globalisasi secara sendiri. Tetapi pernyataan ini tidak berarti bahwa Indonesia tidak mempunyai pekerjaan rumahnya sendiri. Kerjasama regional hanya membantu memperkuat, tetapi tidak dapat menggantikan, upaya-upaya “nasional” yang harus dilaksanakan agar mampu mengambil bagian dalam proses globalisasi. Upaya-upaya ini menyangkut semua bidang kehidupan dan bahkan mungkin meminta dilakukannya reformasi di segala bidang: ekonomi, politik dan sosial. Strategi globalisasi tidak dapat bersifat terbatas, dan hanya menyangkut bidang ekonomi, tetapi harus bersifat menyeluruh. Itulah sebabnya persoalan globalisasi merupakan persoalan yang rumit.

Pada tahun 1980an yang lalu Indonesia dan negara-negara ASEAN menyikapi perkembangan internasional, khususnya ekonomi internasional, dengan menerapkan suatu strategi globalisasi. Dalam hubungan ini yang pertama-tama dilakukan adalah penyesuaian ekonomi, yaitu dengan menerapkan deregulasi dan liberalisasi, untuk dapat memanfaatkan peluang-peluang yang diberikan oleh pasar dunia. Strategi globalisasi ini adalah strategi untuk melakukan integrasi ke dalam ekonomi dunia. Dalam waktu yang singkat negara-negara ini mengalami peningkatan yang pesat dalam “indeks integrasi” mereka. Indeks integrasi ini mencerminkan besarnya nilai perdagangan internasional terhadap kegiatan ekonomi (PDB atau produk domestik bruto), bagian dari ekspor barang manufaktur dalam keseluruhan ekspor, besarnya

11

penanaman modal asing (PMA) terhadap PDB, dan kemampuan negara tersebut menarik modal dari luar (selain PMA).

Hingga terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 negara-negara ini, termasuk Indonesia, umumnya dianggap cukup berhasil dalam melakukan penyesuaian ekonomi dalam negerinya.Ternyata pernilaian ini tidak sepenuhnya benar. Dalam kasus Indonesia, misalnya, proses deregulasi dan liberalisasi sebenarnya telah mengalami kemacetan sejak permulaan tahun 1990an. Memang proses deregulasi ekonomi di Indonesia sebenarnya tidak pernah mulus. Sejak permulaan proses ini telah menghadapi banyak tantangan, terutama dari kelompok-kelompok kepentingan yang akan kehilangan perlakuan istimewa dan perlindungan terhadap saingan. Proses deregulasi di Indonesia juga tidak digerakkan oleh suatu ideologi atau mashab pemikiran tertentu, tetapi lebih banyak telah didorong oleh keharusan. Karena itu setiap kali terdapat bahaya krisis ekonomi, seperti ketika harga minyak anjlok secara tajam pada tahun 1986, pemerintah melakukan langkah penyesuaian. Hal ini dimungkinkan karena dalam keadaan kritis dan krisis seperti itu Presiden Soeharto bersedia mendengarkan nasihat tim ekonominya dan mau mengambil langkah-langkah yang diperlukan.

Tetapi proses ini menjadi semakin sulit ketika berbagai langkah yang harus diambil secara langsung merugikan kepentingan bisnis anggota keluarga dan para kroni Presiden Soeharto. Maka sebenarnya proses penyesuaian ekonomi itu sendiri sebenarnya tidak pernah dilaksanakan secara tuntas. Walau pun ekonomi telah dideregulasi tetapi dalam banyak bidang tidak terdapat iklim persaingan yang sehat karena tetap ada kelompok-kelompok usaha yang diistimewakan. Bahkan kebijakan ekonomi cenderung didikte oleh kelompok-kelompok itu, seperti misalnya dalam hal kebijakan mobil nasional. Dalam proses liberalisasi itu juga timbul monopoli-monopoli baru, misalnya dalam perdagangan jeruk dan cengkeh. Di samping semua ini penyesuaian politik dan sosial sama sekali tidak dipedulikan. Padalah proses penyesuaian ekonomi itu membawa berbagai dampak politik dan sosial. Proses penyesuaian politik dan sosial ini juga proses yang rumit. Penyesuaian ini juga membutuhkan waktu dan suatu “keterencanaan” tetapi bukan 12

melalui suatu “social engineering”. Pembangunan politik tidak dapat “dituntun dari atas”. Proses ini memerlukan kegairahan dari bawah. Untuk itu diperlukan kelembagaan-kelembagaan politik yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat sendiri. Dalam 20 tahun terakhir Orde Baru proses serupa ini telah dikekang karena dilihat sebagai saingan terhadap proses yang dilangsir oleh pihak penguasa. Maka ketika Orde Baru hancur dan iklim politik memberikan keleluasaan muncul kegiarahan dari bawah tetapi tidak ditunjang oleh kelembagaan politik dan sosial yang tangguh. Kemacetan politik yang terjadi sekarang ini dan untuk waktu yang lama bersumber pada keadaan ini.

Di bidang sosial juga tidak terjadi kemajuan tetapi bahkan kemunduran beberapa langkah dan kemunduran ke arah yang mencelakakan. Dibandingkan dengan keadaan 40 tahun lalu, kini terdapat polarisasi agama dalam kehidupan sehari-hari dan interaksi antar-etnis/suku telah melemah. Modal sosial (social capital) juga telah mengalami kehancuran di mana-mana. Bukti utama adalah Maluku. Akses kepada pendidikan telah mengalami perluasan tetapi mutu pendidikan mengalami penurunan secara terus menerus. Maka prasyarat sosial dan politik untuk berkiprah dalam proses globalisasi sama sekali tidak dipenuhi oleh masyarakat Indonesia.

Strategi globalisasi yang dianut selama ini harus diubah secara drastis. Di Indonesia, globalisasi telah dilangsir oleh pemerintah melalui proses deregulasi dan liberalisasi ekonomi dan bukan didorong oleh dunia usaha. Tetapi proses ini ditentukan dari atas. Dengan perkataan lain, kita telah melaksanakan “globalisasi dari atas”. Proses serupa ini, yaitu yang didominasi pemerintah, sangat bersifat “state-centric” -- terpusat pada negara. Artinya, unit analisanya adalah negara dan bukan manusia (penduduk, masyarakat, rakyat). Maka dalam proses globalisasi ini terdapat kejanggalan bahwa keterbukaan ekonomi diterima sebagai harga yang harus dibayar untuk mendapatkan manfaat ekonomi, tetapi keterbukaan politik dianggap sebagai sumber instabilitas. Manfaat ekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dikejar oleh pemerintah atas nama negara karena memperkuat legitimasi politik pemerintah dan karenanya meningkatkan keamanan negara (state security). Sementara itu keterbukaan politik yang memberdayakan individu dalam masyarakat, dan karena itu meningkatkan keamanan individu dalam masyarakat (human security),

13

malahan dianggap membahayakan keamanan negara. Inilah paradoks dalam strategi globalisasi yang dianut selama ini.

Globalisasi yang berhasil dan langgeng adalah “globalisasi dari bawah”. Globalisasi dari bawah berarti pemberdayaan masyarakat. Globalisasi, seperti terwujud dalam jangkauan teknologi informasi dan komunikasi, membuka peluang bagi pemberdayaan masyarakat. Peran Internet dalam pemberdayaan tidak dapat disangkal, tetapi akses pada internet masih sangat terbatas karena prasarana yang terbatas dan kebijakan pemerintah yang kurang menunjang. Peran masyarakat warga (civil society) dalam pemberdayaan masyarakat juga penting dan bahkan sangat kritikal sementara kelembagaan sosial politik di Indonesia masih sangat lemah seperti sekarang ini. Memang harapan terhadap masyarakat warga mungkin cenderung berlebihan. Selain sebagai agen pembangunan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga diharapkan menjadi ujung tombak demokratisasi dan perbaikan penadbiran (governance). Tetapi ini merupakan tantangan bagi masyarakat warga di Indonesia dewasa ini. Globalisasi sebenarnya merupakan sekutu masyarakat warga dan bukan lawan seperti terkesan selama ini. Regionalisasi

Bagaimana peran kerjasama regional dalam kaitan ini? Telah disebutkan di atas bahwa kerjasama regional merupakan bagian dari strategi globalisasi Indonesia. ASEAN adalah kerjasama regional yang terpenting bagi Indonesia dan dinyatakan sebagai “corner stone” dari kebijakan luar negeri Indonesia. Tetapi dalam banyak hal ASEAN sebagai bagian dari strategi globalisasi juga mengalami masalah yang sama. Dalam bidang ekonomi upaya ASEAN mengarah pada integrasi kawasan ke dalam ekonomi dunia. Walau pun ASEAN membentuk suatu kawasan perdagangan bebas (AFTA), tetapi kesepakatan ini tidak dimaksudkan untuk membentuk pasar regional yang tertutup. AFTA bukanlah suatu pengaturan untuk melaksanakan substitusi impor secara regional. AFTA lebih banyak ditujukan untuk meningkatkan daya tarik kawasan bagi penanaman modal dari luar agar kawasan ini bisa menjadi production and export platform bagi dunia. Itulah sebabnya ASEAN menganut regionalisme terbuka (open regionalism). Bersamaan dengan penurunan tarif dan hambatan

14

perdagangan antar anggota kawasan (preferential liberalization), negara-negara ASEAN juga menurunkan tarif dan hambatan perdagangan terhadap semua negara di dunia (unilateral liberalization).

Dalam bidang politik, ASEAN masih sangat tertinggal. Memang ketika didirikan ASEAN lebih banyak dilihat sebagai kerjasama untuk meningkatkan kedaulatan masing-masing anggotanya (sovereignty enhancing). Tetapi gagasan ini sekali lagi bersifat “state-centric” sehingga ASEAN cenderung untuk disalahgunakan oleh sementara anggotanya untuk meningkatkan kemampuan pemerintah (atas nama kedaulatan nasional) untuk mempertahankan status quo politik yang mengekang kebebasan masyarakat. Myanmar, misalnya, berusaha menggunakan tameng ASEAN untuk menampik tekanan internasional. Sejumlah negara lain, misalnya Vietnam dan Laos, tidak mendukung pembangunan masyarakat warga dalam lingkungannya sendiri. Tetapi kebijakan serupa ini berdampak pada kegiatan pembangunan masyarakat warga di tingkat regional. Globalisasi memang bisa menjadi ancaman bagi pemerintah-pemerintah yang menganut kebijakan serupa itu. Tetapi, sekali lagi, globalisasi bisa menjadi sekutu untuk masyarakat warga.

Barangkali memang seperti ditunjukkan oleh studi Rizal Mallarangeng (2002), liberalisasi sejak pertengahan tahun 1980-an itu terjadi karena para pengelola ekonomi menghayati gagasan liberalisasi itu dan dukungan diperoleh dari komunitas epistemis liberal yang berkembang saat itu. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa sejak permulaan tahun 1990-an, kurang dari 10 tahun sejak proses deregulasi dilaksanakan, tampak mulai terjadi kelesuan dalam deregulasi (deregulation fatique). Maka terasa bahwa dorongan dari dalam menjadi kurang efektif lagi. Pada saat bersamaan, tantangan dari luar semakin dirasakan. Globalisasi dan regionalisasi mendorong negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, untuk merumuskan jawaban bersama. Salah satu pengejawantahan dari jawaban ASEAN ini adalah pembentukan AFTA.

Gagasan ini tidak baru, dan sudah pernah dilontarkan pada pertengahan tahun 1970-an. Saat itu Indonesia merupakan salah satu penentangnya. Rupanya 20 tahun kemudian Indonesia menyetujui gagasan itu karena kondisi ekonomi internal dan eksternal telah jauh berubah. Tetapi sangat mungkin, dalam kondisi melemahnya 15

dukungan bagi liberalisasi di dalam negeri, para pengelola ekonomi melihat AFTA sebagai peluang untuk “mengunci” liberalisasi yang telah di mulai pada pertengahan tahun 1980-an itu agar bisa terus berlangsung. Peran Indonesia dalam merumuskan program liberalisasi APEC pada tahun 1994, yang dikenal sebagai Bogor goals ke arah free and open trade and investment in the region, mungkin juga merupakan bagian dari strategi ini. Kedua kesepakatan ini telah dituangkan oleh Indonesia dalam paket kebijakan deregulasi perdagangan pada Mei 1995 dan Juni 1996.

Pada tahun 1992 Indonesia beserta negara-negara anggota ASEAN lainnya saat itu (Brunei Darussalam, Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand) memutuskan untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas di antara mereka. Proyek ini dikenal sebagai AFTA atau ASEAN Free Trade Area diputuskan untuk mulai diluncurkan pada Januari 1993. Semula juga diputuskan untuk merealisasikan gagasan ini setelah 15 tahun, yaitu pada tahun 2008.

Dalam tahun-tahun berikutnya dua perkembangan terjadi. Pertama, dengan masuknya empat negara sebagai anggota ASEAN baru, yaitu Vietnam, Laos, Myanmar, dan Cambodia, maka AFTA juga mencakup kesepuluh negara-negara di Asia Tenggara. Bagi setiap anggota baru ditetapkan jadwal pelaksanaan tersendiri. Kedua, dalam perjalanan waktu, ke enam anggota lama ASEAN memutuskan untuk mempercepat pelaksanaan AFTA dan menetapkan tahun 2003 sebagai tahun realisasinya. Pada tahun 1998 diputuskan oleh kelompok anggota ASEAN ini untuk mengajukan realisasi AFTA ke 1 Januari 2002.

Maka bagi ke enam anggota lama ASEAN sejak permulaan tahun ini proyek AFTA boleh dikatakan sudah diselesaikan. Yang diartikan dengan realisasi atau penyelesaian proyek AFTA ini adalah bahwa bagi masing-masing anggota tersebut tarif perdagangan (impor) untuk hampir semua mata dagangan, yang diberlakukan bagi sesama anggota ASEAN, sudah diturunkan menjadi antara 0 dan 5 persen. AFTA juga mengatur mata dagangan yang dikecualikan untuk seterusnya dan yang masih dilindungi untuk sementara.

Tetapi proses ini tidak berhenti pada tanggal 1 Januari 2002 ini. Mata dagangan yang berada dalam daftar pengecualian sementara secara berangsur-angsur

16

akan hilang. Selain itu para anggota ASEAN juga memutuskan untuk menurunkan tarif semua mata dagangan menjadi 0 persen, pada tahun 2010 untuk keenam anggota lama ASEAN dan pada tahun 2015 untuk keempat anggota baru ASEAN. Apabila rencana ini terlaksana maka paling lambat pada tahun 2015 perdagangan antar semua negara ASEAN tidak lagi menghadapi hambatan. Hambatan yang dimaksud bukan semata-mata hambatan tarif (pajak) tetapi juga hambatan-hambatan non-tarif seperti aturan kesehatan.

AFTA hingga saat ini hanya mencakup perdagangan barang. Liberalisasi sektor jasa dilaksanakan melalui suatu ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). Tetapi liberalisasi jasa-jasa ini berjalan lambat. Kemajuan yang berarti baru tercapai dalam bidang pariwisata. Ada usulan untuk menyatukan upaya liberalisasi perdagangan barang dan jasa ini dalam suatu kerangka yang koheren dan komprehensif. Beberapa orang melontarkan gagasan AFTA Plus sebagai kerangka besar untuk menggabungkan berbagai upaya liberalisasi dalam ASEAN. AFTA Plus ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi upaya di bidang investasi, yang kini dilaksanakan melalui proyek ASEAN Investment Area (AIA), dan di bidang hak milik intelektual, yang kini dilangsir melalui suatu ASEAN Framework Agreement on Intellecual Property Cooperation.

Jadi, walau pun secara resmi 1 Januari 2002 ditetapkan sebagai tahun terbentuknya AFTA, proyek AFTA ini masih akan terus berlanjut karena programnya sangat mungkin akan diperluas dan diperdalam terus. Apa arti semua ini bagi Indonesia?

Suatu kawasan perdagangan bebas (free trade area atau FTA) adalah tahapan yang paling awal dari proses integrasi ekonomi di antara para pesertanya. Umumnya suatu FTA meliputi negara-negara dalam suatu daerah (region). Maka FTA merupakan salah satu cara melaksanakan integrasi ekonomi regional.

Dalam suatu FTA para pesertanya sepakat untuk saling menurunkan tarif perdagangan di antara sesama peserta. Tarif ini disebut tarif preferensial (preferential tariffs). Dalam AFTA, tarif itu disebut AFTA preferential tariffs atau disingkat AFTA tariffs, tetapi juga disebut sebagai CEPT atau Common Effective Preferential Tariffs.

17

Tetapi dalam FTA masing-masing peserta menerapkan tarif perdagangannya sendiri terhadap negara-negara lain (bukan peserta FTA). Tarif yang terakhir ini dikenal sebagai tarif MFN (most favored nation) yang diberlakukan (sama) bagi semua anggota WTO (World Trade Organization).

Tahapan berikutnya dalam proses integrasi ekonomi kawasan mengambil bentuk customs union (CU). Dalam CU, selain penerapan tarif preferential bagi sesama peserta, semua peserta kini menerapkan tarif MNF yang juga sama diantara mereka. Dengan demikian tercapai suatu “kesatuan pabean”. Berbeda dengan FTA, dalam CU tidak lagi dimungkinkan bahwa ekspor ke kawasan dari luar kawasan akan mencoba masuk melalui negara dengan tarif terrendah. Sebab, dalam CU semua peserta menerapkan tarif impor yang sama. Untuk menghindarkan terjadinya arus barang masuk ke kawasan melalui negara dengan tarif terrendah itu maka dalam suatu FTA selalu diterapkan suatu aturan yang dikenal sebagai Rules of Origin (ROO). Hanya bila ROO bagi suatu barang memenuhi ketentuannya maka barang itu memperoleh tarif preferensial. ROO ini menetapkan kapan suatu barang bisa dianggap datang dari sesama peserta FTA walau pun barang itu tidak sepenuhnya dihasilkan di negara yang bersangkutan. Dalam AFTA, ROO itu ditetapkan sebesar 40 persen dan bersifat kumulatif. Artinya, bila suatu barang diekspor dari Singapura ke negara ASEAN lainnya mempunyai muatan “regional” -- yaitu berasal dari negara ASEAN lain -- sebesar 40 persen atau lebih, maka barang itu memperoleh perlakuan preferensial. ROO di AFTA bisa dianggap cukup liberal karena suatu barang yang muatan non-regionalnya 60 persen bisa memperoleh tarif preferensial.

Di ASEAN hingga hari ini belum ada pembicaraan untuk membentuk suatu CU walau pun pernah dilontarkan gagasan integrasi yang jauh lebih dalam. Tahapan integrasi berikutnya mengambil bentuk common market (CM) atau pasar bersama. Dalam CM selain terbentuk suatu kesatuan pabean juga diberlakukan kesatuan pasar tenaga kerja. Artinya, tenaga kerja dapat berpindah secara bebas di antara sesama negara peserta. CM yang paling terkenal terdapat di Eropa Barat sejak tahun 1960an. Di luar itu, CM yang cukup signifikan adalah Mercosur di Amerika Latin, yang antara lain melibatkan dua ekonomi yang besar, yaitu Brasil dan Aregntina.

18

Tetapi sejak tahun 1970an, Eropa Barat mempercepat integrasi ekonomi kawasannya, menjadi suatu economic community atau masyarakat ekonomi (Masyarakat Ekonomi Eropa atau MEE) yang membuka berbagai pasar lainnya, termasuk pasar finansialnya. Dengan Single European Act tahun 1992, yang menghilangkan segala hambatan fisik di perbatasan, terbentuklah European Union (EU) atau Uni Eropa, suatu kesatuan ekonomi yang dalam. Langkah berikutnya adalah menerapkan monetary union atau kesatuan moneter yang berujung pada penggunaan satu mata uang dan dibentuknya satu bank sentral untuk seluruh kawasan (European Central Bank yang berkedudukan di Frankfurt). Namun integrasi yang semakin dalam ini tidak diikuti oleh semua anggotanya, sehingga terbentuklah suatu two-tier European Union. Artinya dalam kesatuan ekonomi ini terdapat negara-negara yang berintegrasi lebih cepat dari yang lainnya. Inggris, misalnya, belum bersedia untuk menggantikan pound sterling dengan Euro. Apakah Eropa menjadi acuan bagi ASEAN? Bila kawasan ASEAN memang mencita-citakan suatu uni ekonomi, apakah prosesnya juga akan serupa dengan yang dialami di Eropa? Pertanyaan-pertanyaan ini hanya akan dapat dijawab oleh sejarah. ASEAN tidak menetapkan bentuk akhir dari proses integrasi ekonomi regionalnya dan karena itu juga tidak mempunyai suatu cetak biru mengenai itu.

Salah satu perbedaan hakiki, barangkali, antara ASEAN dan Eropa Barat, dan karena itu dapat diperkirakan proses di kedua kawasan itu akan berbeda, adalah motivasi bagi integrasi ekonomi regional itu. Proses di Eropa Barat dilatarbelakangi oleh dorongan internal (kawasan) yang kuat, artinya dorongan dari dalam sendiri. Karena bencana luar biasa dua perang dunia dalam kurun waktu hanya dua generasi maka lahir keinginan untuk menghindarkannya at all cost, yaitu dengan menggagas suatu kesatuan politik (political union). Cetak birunya adalah suatu United States of Europe yang diupayakan secara bertahap melalui kerjasama ekonomi terlebih dahulu.

Sebaliknya negara-negara ASEAN menggagas AFTA sebagai jawaban atas tantangan eksternal, yaitu perkembangan ekonomi dunia. AFTA adalah jawaban terhadap globalisasi dan regionalisasi sekaligus. Menghadapi tantangan itu negara-negara ASEAN memutuskan untuk menjawab secara bersama karena dengan

19

相关文档