BADAN PEMERIKSA KEUANGAN
INDONESIA
REPUBLIK
PETUNJUK TEKNIS
PENYUSUNAN
PENDAPAT HUKUM
ATAS
TEMUAN
HASIL PEMERIKSAAN
DIREKTORAT UTAMA
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARA
BAB I
PENDAHULUAN
Belakang
A. Latar
Salah satu tugas Direktorat Konsultasi Hukum dan Kepaniteraan Kerugian Negara/Daerah adalah memberikan konsultasi hukum dan pendapat hukum atas hasil pemeriksaan.
Pendapat hukum dalam praktek profesi konsultan hukum, merupakan pernyataan (tertulis) konsultan hukum mengenai suatu keadaan atau fakta yang ada berkaitan dengan aspek hukum, baik untuk kepentingan pemohon pendapat hukum maupun pihak lain. Sebelum memberikan pendapat hukum, biasanya dilakukan pemeriksaan dari aspek hukum terhadap dokumen-dokumen material dari transaksi yang ada dengan melakukan legal due dilligent dan menilai berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendapat hukum yang diberikan oleh Direktorat Konsultasi Hukum dan Kepaniteraan Kerugian Negara/Daerah diberikan untuk menunjang pelaksanaan tugas pemeriksaan BPK, di mana pendapat hukum disusun sebagai suatu pendapat atas permasalahan hukum dalam temuan hasil pemeriksaan BPK dengan menyertakan rekomendasi.
Namun selama ini pemberian pendapat hukum oleh Direktorat Konsultasi Hukum dan Kepaniteraan Kerugian Negara/Daerah atas temuan hasil pemeriksaan tidak mendasarkan pada suatu tahapan/prosedur, format, dan materi yang baku. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka perlu dibuat pedoman sebagai petunjuk teknis dalam penyusunan pendapat hukum.
Hukum
B. Dasar
Dasar hukum penyusunan pendapat hukum adalah :
1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa
”apabila di dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera
melaporkan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Pasal 8 :
a. Ayat (3) menyatakan bahwa ”apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur
pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama satu
bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut.”
b. Ayat (4) menyatakan bahwa ”laporan BPK sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
3. Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 39/K/I-
VIII.3/7/2007 tentang Organisasi dan Tata Laksana Pelaksana Badan
Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia :
a. Pasal 238, yang menyatakan bahwa ”Direktorat Konsultasi Hukum dan
Kepaniteraan Kerugian Negara/Daerah mempunyai tugas memberikan
konsultasi hukum kepada Auditorat Utama Keuangan Negara, dan
memberikan pendapat hukum atas hasil pemeriksaan, serta memberikan
layanan administrasi kepada Majelis Tuntutan Perbendaharaan dan
Tuntutan Ganti Rugi.”
b. Pasal 239 huruf e menyatakan bahwa ”untuk melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238, Direktorat Konsultasi Hukum dan
Kepaniteraan Kerugian Negara/Daerah menyelenggarakan fungsi
pemberian pendapat hukum terhadap temuan pemeriksaan yang
mengandung unsur tindak pidana korupsi dan/atau kerugian
negara/daerah.”
c. Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 39/K/I-
VIII.3/7/2007 tentang Organisasi dan Tata Laksana Pelaksana Badan
Pemeriksa Keuangan Indonesia, dinyatakan bahwa tugas pokok dan fungsi
Sub Bagian Hukum dan Humas pada Perwakilan-perwakilan BPK RI antara
lain melaksanakan pemberian layanan di bidang hukum yang meliputi
legislasi, konsultasi, bantuan dan informasi hukum.
C. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari penyusunan petunjuk teknis penyusunan pendapat hukum adalah :
1. Memberikan suatu pedoman bagi unit-unit kerja yang bertugas memberikan
pendapat hukum sehingga pendapat hukum atas temuan hasil pemeriksaan
dilakukan melalui tahapan yang dapat dipertanggungjawabkan.
2. Keseragaman format pendapat hukum.
D. Sistematika
Petunjuk teknis penyusunan pendapat hukum disusun dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Dasar Hukum
C. Maksud dan Tujuan
D. Sistematika
BAB II PENGERTIAN DAN KLASIFIKASI TEMUAN HASIL PEMERIKSAAN
A. Pengertian
B. Klasifikasi Temuan Hasil Pemeriksaan
BAB III FORMAT PENDAPAT HUKUM ATAS HASIL PEMERIKSAAN BPK
A. Analisis Fakta
B. Analisis Yuridis
C. Kesimpulan
D. Rekomendasi
E. Paragraf Penutup
BAB IV ASUMSI, KUALIFIKASI, DAN TAHAPAN PENYUSUNAN PENDAPAT HUKUM ATAS TEMUAN HASIL PEMERIKSAAN
A. Asumsi dan Kualifikasi
B. Langkah-langkah Penyusunan Pendapat Hukum Atas Temuan Hasil
Pemeriksaan
BAB V PENUTUP
BAB II
PENGERTIAN DAN KLASIFIKASI TEMUAN HASIL PEMERIKSAAN
A. Pengertian
1. Pendapat Hukum adalah pendapat atas permasalahan hukum dalam temuan
hasil pemeriksaan BPK yang disusun dengan cara melakukan analisis
terhadap dokumen pendukung dan peraturan perundang-undangan terkait
disertai rekomendasi.
2. Pemberi Pendapat Hukum adalah unit-unit kerja di lingkungan BPK-RI yang
mempunyai tugas menyusun pendapat hukum atas temuan hasil pemeriksaan.
3. Asumsi adalah pernyataan dari pemberi pendapat hukum yang dituangkan
pada bagian awal analisis fakta pendapat hukum yang isinya menyatakan
bahwa fakta/dokumen/informasi yang diuraikan dalam hasil pemeriksaan
dianggap sudah benar.
4. Rekomendasi adalah saran yang diberikan oleh pemberi pendapat hukum
berdasarkan kesimpulan dalam pendapat hukum.
5. Dokumen adalah media yang berisi informasi yang meliputi Lembar Temuan
Pemeriksaan (LTP) dan/atau Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP), bukti
pendukung hasil pemeriksaan serta peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan temuan hasil pemeriksaan.
6. Legal Due Diligent adalah kajian terhadap dokumen dan analisis hukum secara
menyeluruh dan mendalam terhadap dokumen.
7. Perbuatan Melawan Hukum adalah perbuatan yang melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan.
B. Klasifikasi Temuan Hasil Pemeriksaan
1. Penyimpangan Administrasi
Penyimpangan administrasi adalah kondisi di mana secara materiil kegiatan telah dilaksanakan dengan benar, namun persyaratan formilnya
masih terdapat kekurangan.
Contoh :
Dalam pengadaan barang/jasa, prosedur pengadaan telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, namun pelaksanaan pengadaan barang/jasa tersebut tidak disertai dengan dokumen pendukung secara lengkap.
Dalam temuan penyimpangan administrasi, setelah dilakukan pengujian materiil tidak ditemui adanya kerugian negara/daerah, pemborosan ataupun unsur-unsur TPK.
2. Pemborosan Keuangan Negara
Hingga saat ini, belum ada peraturan yang memberikan pengertian atau batasan pengertian pemborosan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, pemborosan diartikan sebagai proses atau perbuatan berlebih-lebihan dalam pemakaian uang, barang dan sebagainya.
Pemborosan keuangan negara/daerah berhubungan erat dengan konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas, dan konsep tersebut berhubungan erat dengan pengertian input, proses, output dan outcome. Selama input (berupa dana, SDM, peralatan dan material), yang dimasukkan (meskipun berlebih) digunakan seluruhnya dalam proses sehingga menghasilkan output, maka dapat dikatakan terjadi pemborosan dalam input, namun tidak dapat dikatakan terjadi kerugian karena tidak ada pihak yang diuntungkan, dan tidak ada kerugian.
Contoh :
Dalam pembangunan gedung, menurut standar cat yang digunakan untuk 50m2 dinding adalah cukup 1 pail cat merk Metrolite, namun ternyata dalam RAB, dianggarkan 1,5 pail cat merk Metrolite, dan cat tersebut
seluruhnya telah digunakan untuk mengecat dinding. Dari kondisi tersebut jelas terjadi pemborosan, namun kerugian negara tidak/belum tentu ada, karena cat seluruhnya digunakan dan dalam hal ini tidak ada pihak-pihak yang diuntungkan.
Sementara dalam Laporan Hasil Pemeriksaan BPK, banyak ditemui rekomendasi yang berbeda-beda dalam temuan hasil pemeriksaan BPK yang mengungkapkan adanya pemborosan keuangan negara. Seharusnya, dalam temuan dengan akibat pemborosan, BPK tidak merekomendasikan agar dilakukan penggantian dengan cara menyetorkan ke Kas Negara/Daerah, tetapi rekomendasi yang diberikan adalah perbaikan sistem.
Temuan pemborosan, pada waktu dilakukan pendalaman lebih lanjut ternyata diketahui berakibat kerugian negara, maka konstruksi temuan tersebut tidak lagi bicara dalam konteks pemborosan namun telah masuk dalam konteks temuan yang berindikasi kerugian negara.
3. Kerugian atau Potensi Kerugian Negara/Daerah
Menurut Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang dimaksud dengan Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Sedangkan yang dimaksud dengan Potensi Kerugian Negara jika dilihat dari terminologi bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian ‘potensi’ adalah sesuatu yang dapat menjadi aktual. Jadi yang dimaksud dengan Potensi Kerugian Negara adalah suatu kondisi yang dapat
mengakibatkan terjadinya kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.
Sebagai referensi dapat dikemukakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 24 Juli 2006 terkait uji materil atas Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999) dinyatakan bahwa kata ”dapat” sebelum frasa ”merugikan keuangan atau perekonomian negara” harus diartikan bahwa unsur kerugian negara tetap harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau meskipun belum terjadi.
Dalam klasifikasi temuan ini, unsur perbuatan melawan hukum dan unsur kerugian negara/daerah terpenuhi, namun unsur menguntungkan diri sendiri dan atau orang lain atau korporasi tidak ada.
Contoh :
Seorang Kepala Biro mengendarai mobil dinas tanpa seijin Biro Umum untuk berlibur ke Bali. Dalam perjalanan mobil tersebut ditabrak oleh kendaraan lain. Dari kejadian itu terpenuhi unsur perbuatan melawan hukum dan ada kerugian negara/daerah, namun dalam kejadian itu tidak ada pihak yang diuntungkan. Atas kejadian tersebut Kepala Biro dikenakan Tuntutan Ganti Rugi (TGR) oleh pimpinan instansinya.
Dalam hal temuan pemeriksaan mengandung dugaan kerugian negara, maka penyelesaiannya dapat berupa :
1. Apabila kerugian negara disebabkan oleh Bendaharawan, maka hal
tersebut diserahkan kepada BPK untuk ditetapkan nilai kerugiannya dalam bentuk Tuntutan Perbendaharaan (TP).
2. Apabila kerugian negara disebabkan oleh bukan bendaharawan, maka
penetapannya dilakukan oleh instansi yang bersangkutan dalam bentuk Tuntutan Ganti Rugi (TGR) dan dilakukan pemantauan oleh BPK.
3. Apabila kerugian negara disebabkan oleh pihak lain, maka penetapannya
berdasarkan keputusan pengadilan.
4. Apabila kerugian negara mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi, maka
disarankan untuk diserahkan kepada instansi yang berwenang.
4. Temuan yang Diduga Memenuhi Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi
(TPK)
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebutkan bahwa apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, maka BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut kemudian dipertegas dengan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dengan menambahkan jangka waktu pelaporan tersebut paling lambat dilakukan dalam waktu 1 (satu) bulan sejak diketahuinya unsur pidana tersebut. Pasal 28 undang-undang ini juga melarang Anggota BPK memperlambat atau tidak melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang.
Temuan yang diindikasikan memenuhi unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi adalah temuan yang mengandung unsur sebagai berikut :
1. Perbuatan melawan hukum.
2. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
3. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
4. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya.
Dalam rangka melaporkan hasil pemeriksaan yang mengandung unsur pidana, Pimpinan Unit Kerja Pemeriksa (Auditorat Utama Keuangan Negara) mengirimkan hasil pemeriksaan dan atau temuan pemeriksaan kepada Direktorat Utama Pembinaan dan Pengembangan Hukum Pemeriksaan Keuangan Negara (Direktorat Konsultasi Hukum dan Kepaniteraan Kerugian Negara/Daerah) untuk ditelaah guna mengetahui ada tidaknya unsur pidana dalam temuan tersebut.
Selama ini Direktorat Konsultasi Hukum dan Kepaniteraan Kerugian Negara/Daerah secara umum lebih banyak melakukan penelaahan berdasarkan terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam rangka penyempurnaan hasil telaahan, dan mengingat ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004, Direktorat Konsultasi Hukum dan Kepaniteraan Kerugian Negara/Daerah seharusnya tidak membatasi telaahan berdasarkan terpenuhi atau tidaknya Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saja, namun juga mengungkap terpenuhi atau tidaknya unsur tindak pidana korupsi lainnya yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi antara lain Pasal 12 b tentang gratifikasi, serta tindak pidana lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku termasuk di dalamnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
BAB III
FORMAT PENDAPAT HUKUM ATAS HASIL PEMERIKSAAN BPK
Pendapat hukum atas temuan hasil pemeriksaan BPK-RI disusun dalam urutan format sebagai berikut :
Fakta
A. Analisis
Pada bagian Analisis Fakta diuraikan perihal gambaran umum kegiatan yang diperiksa, kriteria-kriteria yang dipergunakan untuk menilai kegiatan dimaksud, untuk kemudian ditentukan pokok-pokok permasalahan yang terdapat dalam temuan pemeriksaan yang akan diberikan pendapat hukumnya.
Pada bagian Analisis Fakta juga ditegaskan perihal pernyataan asumsi fakta dari pemberi pendapat hukum atas fakta-fakta yang diuraikan dalam hasil/temuan pemeriksaan oleh tim pemeriksa.
Yuridis
B. Analisis
Bagian Analisis Yuridis berisi uraian perihal perbandingan antara permasalahan-permasalahan pokok dalam temuan pemeriksaan dengan ketentuan/kriteria yang terkait. Pada bagian ini diuraikan pula perihal klasifikasi dari temuan pemeriksaan yang akan diberikan pendapat hukumnya setelah dibandingkan dengan ketentuan/kriteria yang harus ditaati. Temuan pemeriksaan kemudian dianalisis dengan menggunakan kerangka berpikir/pendekatan untuk menentukan adanya perbuatan melawan hukum, kerugian negara, siapa yang bertanggung jawab, serta pihak yang menikmati keuntungan.
Apabila kerugian tersebut terjadi karena adanya perbuatan melawan hukum, maka hal tersebut merupakan kerugian negara. Tapi apabila kerugian terjadi bukan karena adanya perbuatan melawan hukum, maka hal tersebut hanyalah merupakan kerugian bisnis.
C. Kesimpulan
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil analisis fakta maupun analisis yuridis dapat ditarik kesimpulan yang menentukan ada atau tidaknya tindak pidana korupsi, tindak pidana umum, dan tindak pidana khusus non-TPK.
Selain itu dapat juga ditentukan ada atau tidaknya tuntutan perbendaharaan atau tuntutan ganti kerugian, serta ada atau tidaknya perbuatan perdata.
D. Rekomendasi
Bagian ini berisi saran dari pemberi pendapat hukum perihal apa yang kemudian dapat dilakukan oleh peminta pendapat hukum atas pendapat hukum yang diberikan.
Rekomendasi yang dapat diberikan meliputi antara lain saran untuk menyerahkan hasil pemeriksaan kepada pihak yang berwenang atau untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Penutup
E. Paragraf
Bagian ini berisi pernyataan pemberi pendapat hukum yang menyatakan bahwa pendapat hukum yang diberikan dibatasi waktunya sampai dengan tanggal saat pendapat hukum dimaksud ditandatangani.
Format pendapat hukum atas temuan hasil pemeriksaan BPK terlampir dalam lampiran.
BAB IV
ASUMSI, KUALIFIKASI, DAN TAHAPAN PENYUSUNAN PENDAPAT HUKUM
ATAS TEMUAN HASIL PEMERIKSAAN
A. Asumsi dan Kualifikasi
1. Asumsi
Dalam melakukan analisis fakta kita menggunakan asumsi, yaitu suatu
pendapat yang disandarkan kepada hal lain.
Asumsi-asumsi tersebut antara lain meliputi :
a. Keaslian dokumen-dokumen yang diserahkan.
b. Keaslian tanda tangan.
c. Kewenangan pihak-pihak yang bertanda tangan.
d. Dokumen yang diserahkan lengkap dan benar.
e. Tidak ada perubahan direksi, komisaris, dan pemegang saham.
f. Kebenaran informasi lisan dan cek fisik yang diberikan oleh pemeriksa.
Contoh asumsi dalam pendapat hukum :
a. Kami mengasumsikan bahwa tanda tangan atas semua dokumen asli
yang diberikan atau diperlihatkan oleh ………………… (nama pihak yang
meminta pendapat hukum) kepada kami dalam rangka pemeriksaan
hukum (legal audit) adalah asli, setiap tanda tangan yang terdapat dalam
semua dokumen adalah dilakukan oleh pihak yang berwenang untuk
menandatanganinya, dan dokumen-dokumen asli yang diberikan atau
yang ditunjukkan kepada kami adalah otentik, dan bahwa dokumen-
dokumen yang diberikan kepada kami dalam bentuk fotokopi atau
salinannya adalah fotokopi atau salinan yang benar, lengkap dan akurat
serta identik dengan aslinya.
b. Kami mengasumsikan bahwa dokumen-dokumen, data, informasi-
informasi, keterangan-keterangan, fakta-fakta dan pernyataan-pernyataan
serta penegasan-penegasan yang diberikan atau diperlihatkan oleh
…………………(nama pihak yang meminta pendapat hukum) kepada kami
untuk tujuan pemeriksaan hukum dan pendapat hukum adalah benar,
akurat, dan telah lengkap, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya,
serta tidak mengalami perubahan materiil sampai dengan tanggal
dikeluarkannya laporan pemeriksaan hukum dan pendapat hukum ini.
c. Kami juga telah mengasumsikan kebenaran dan ketepatan data, fakta-
fakta, informasi, keterangan, pernyatan, pemeriksaan dan penegasan
serta dokumen yang diberikan oleh ……………………….. (nama pihak
yang meminta pendapat hukum).
Dalam melakukan analisis fakta kita juga harus menerangkan dokumen yang diteliti atau diperiksa.
Contoh :
“Dokumen-dokumen yang diperiksa hanya terbatas pada dokumen-dokumen yang diberikan ………………………….. (nama pihak yang meminta pendapat hukum) kepada kami, yang terdiri dari dan terbatas pada dokumen-dokumen yang disebutkan dalam lampiran pendapat hukum ini yang merupakan bagian yang tidak terpisah dari pendapat hukum ini.”
2. Kualifikasi
Dalam penyusunan pendapat hukum juga digunakan Kualifikasi atau pembatasan.
Kualifikasi atau Pembatasan yang diberikan adalah :
a. Pendapat hukum yang diberikan dalam kapasitas sebagai Direktorat
Konsultasi Hukum dan Kepaniteraan Kerugian Negara/Daerah yang
mempunyai tugas memberikan pendapat hukum atas temuan atau hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh Auditorat Keuangan Negara dan
pendapat hukum ini hanya dapat digunakan dalam rangka menunjang
pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Pemeriksa Keuangan sesuai
ketentuan hukum yang berlaku.
b. Pendapat hukum dibuat berdasarkan kaidah hukum Indonesia yang relevan
dan berlaku pada saat Pendapat Hukum ini dibuat dan diterbitkan.
c. Pendapat Hukum diberikan hanya sebatas mengenai aspek hukum dari
adanya dugaan tindak pidana atau perbuatan melawan hukum atas hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemeriksa sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
d. Penyusunan pendapat hukum hanya dilakukan atas dasar dokumen,
keterangan atau informasi yang diberikan oleh Pemeriksa atau pihak lain
yang terkait, dan konsultan hukum tidak melakukan investigasi secara
khusus mengenai keabsahan, kebenaran dan kelengkapan isi dokumen,
keterangan atau informasi dalam dokumen tersebut.
B. Langkah-langkah Penyusunan Pendapat Hukum atas Temuan Hasil
Pemeriksaan
1. Analisis Fakta
a. Susun gambaran umum pelaksanaan kegiatan yang diperiksa.
Gambaran umum tersebut meliputi instansi yang melaksanakan kegiatan,
jenis kegiatannya, pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan kegiatan,
anggaran kegiatan, serta fakta-fakta lain yang dapat menggambarkan
kegiatan dimaksud. Fakta-fakta tersebut adalah fakta yang memiliki
keterkaitan yang dekat dengan temuan, dan uraian fakta-fakta dalam gambaran umum kegiatan disusun secara kronologis.
b. Tentukan kriteria pelaksanaan kegiatan.
Dalam menyusun pendapat hukum, pemberi pendapat hukum harus menentukan kriteria kegiatan yang diuraikan dalam temuan pemeriksaan.
Walaupun tim pemeriksa telah menetapkan kriteria pemeriksaannya, namun pemberi pendapat hukum harus menguji apakah kriteria yang dipergunakan oleh tim pemeriksa sudah tepat atau tidak. Tugas pemberi pendapat hukum antara lain menentukan kriteria yang tepat untuk menganalisis suatu kegiatan yang menjadi objek pemeriksaan.
c. Tentukan pokok-pokok permasalahan.
Dari gambaran umum yang telah diuraikan, pemberi pendapat hukum menetapkan pokok-pokok permasalahan. Penyimpulan pokok-pokok permasalahan menjadi sesuatu yang penting selain untuk lebih memfokuskan analisis hukum dalam penyusunan pendapat hukum, sekaligus untuk lebih memudahkan penetapan kriteria yang tepat yang dipergunakan untuk menganalisis permasalahan dalam temuan hasil pemeriksaan.
d. Tentukan dokumen yang diperlukan untuk mendukung fakta.
Pemberi pendapat hukum harus menentukan dokumen-dokumen yang terkait erat dengan fakta-fakta dalam pokok permasalahan. Menentukan dokumen yang diperlukan berguna untuk menguji perihal pembuktian fakta-fakta yang terkait dengan pokok permasalahan. Selain itu dokumen-dokumen tersebut dapat digunakan untuk menentukan kriteria selain peraturan perundang-undangan.
e. Analisis dokumen untuk mengetahui :
1) Dokumen dibuat oleh pihak yang berhak/kompeten.
2) Hubungan hukum para pihak terkait dengan kegiatan.
3) Keterkaitan dokumen yang satu dengan yang lain.
4) Pengaturan hak/kewajiban para pihak.
5) Pelaksanaan hak/kewajiban para pihak.
6) Kegiatan dilaksanakan sesuai/tidak dengan ketentuan.
2. Analisis Yuridis
a. Tentukan permasalahan pokok dan ketentuan yang dilanggar.
b. Analisis akibat yang timbul dari adanya permasalahan pokok dan ketentuan
yang dilanggar untuk menentukan klasifikasi temuan :
1) Administratif.
2) Pemborosan.
3) Kerugian Negara/Daerah :
a) Tuntutan Perbendaharaan/Tuntutan Ganti Rugi;
b) Tindak Pidana Korupsi.
c. Tentukan terpenuhinya unsur Tindak Pidana Korupsi (bila temuan termasuk
klasifikasi TPK).
1) Tentukan ada/tidaknya perbuatan melawan hukum.
2) Tentukan ada/tidaknya kerugian negara dan nilai kerugian tersebut.
3) Tentukan pelaku/pihak yang bertanggung jawab.
4) Tentukan pihak yang diuntungkan.
3. Kesimpulan
a. Menyimpulkan aspek-aspek hukum atas temuan hasil pemeriksaan yang
ditelaah.
1) Hukum Administrasi Negara :
a) Tuntutan Perbendaharaan (TP).
b) Tuntutan Ganti Rugi (TGR).
c) Pemborosan.
2) Hukum Perdata.
3) Hukum Pidana Khusus (non-Tindak Pidana Korupsi) :
a) Pajak;
b) Perbankan;
c) Pasar Modal;
d) Lingkungan; dll.
4) Tindak Pidana Korupsi.
5) Hukum Pidana Umum.
b. Alasan kesimpulan yang diambil.
c. Apabila Pemberi Pendapat Hukum tidak dapat menyatakan pendapat
karena dokumen tidak lengkap, maka Konsultan Hukum harus menyatakan dokumen apa saja yang harus dilengkapi.
4. Rekomendasi
Apabila kesimpulannya adalah :
a. Pidana (TPK, khusus non-TPK, umum), maka rekomendasinya adalah
dapat diserahkan kepada pihak yang berwenang.
b. Pelanggaran Hukum Administrasi Negara atau Perdata, maka
rekomendasinya diselesaikan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
c. Pemberi Pendapat Hukum tidak dapat menyatakan pendapat karena
informasi yang tersedia tidak lengkap namun permasalahannya cukup
material, maka rekomendasinya adalah dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. 5. Penutup
Pernyataan Konsultan Hukum atas pendapat hukum yang dibuat pada tanggal penyusunan pendapat hukum (cut off).